Impian Soekarno yang Dibajak Pengusaha dan Pekerja Seks

jejak-soekardjoPemilihan presiden 2014 dipenuhi situs-situs dadakan yang menyebarkan fakta-fakta sumir. Salah satunya soal kawasan wisata Ancol yang disebut sebagai hasil kerja Gubernur Jakarta terdahulu.

Benarkah Ancol adalah ide seorang gubernur? Seberapa jauh gubernur terlibat dalam pembangunan Ancol? Mengapa pula sempat ada warga Jakarta yang menggugat keharusan membayar karcis buat menikmati pantai Jakarta yang menurut mereka seharusnya ruang publik itu?

Sejarah pembangunan Ancol diceritakan Soekardjo Hardjosoewirjo dalam buku Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol. Soekardjo adalah anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan 1999-2009 yang dulu ditugasi Gubernur Jakarta, Soemarno Sosroatmodjo, mengurusi pembangunan Ancol.

Dalam bukunya, Soekardjo menceritakan lika-liku pembangunan Ancol dan mengapa dulu tempat itu lebih dikenal dengan sebutan Bina Ria.

Berikut ini nukilan memoar Soekardjo itu:

Saking terkesimanya dengan pantai-pantai di Hawaii, Amerika Serikat, Soekarno kepingin ada yang sama di tanah airnya. Ia meminta Gubernur Jakarta, Soemarno Sosroatmodjo, buat menyiapkan lahan tempat rekreasi tepi pantai di Ibu Kota.

Soemarno yang berpangkat mayor jenderal ini juga merangkap menteri dalam negeri yang mengawasi proyek-proyek mercusuar Soekarno seperti pembangunan Tugu Monas, Masjid Istiqlal, dan Jalan By Pass.

Proyek-proyek mercusuar ini kerap dikritik karena tak menyentuh kebutuhan perut rakyat. Karena itu Soekarno menjadikannya “proyek mandataris” atau proyek yang langsung berada di bawah kendali presiden. “Tujuannya mencegah adanya hambatan politik dan sosial dari kelompok-kelompok yang berseberangan dengan presiden,” kata Soekardjo.

Soekarno berpesan kepada Soemarno agar tidak mengikuti para pengkritik yang dinilainya berpikir jangka pendek. “Marno, sebagai pemimpin kamu harus mampu berpikir apa yang bisa kamu perbuat untuk rakyatmu lima puluh tahun yang akan datang,” kata Soekarno.

Sang presiden meminta Soemarno memikirkan kebutuhan rakyat Jakarta di masa depan. “Bagaimana kamu bisa memberi tempat yang bisa membahagiakan rakyat Jakarta agar penduduknya menikmati hawa segar laut, bisa melihat cerianya anak-anak bermain di pantai,” kata Soekarno.

Soemarno pun memilih lahan daerah Ancol yang diapit Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Pasar Ikan buat proyek presiden itu. Masalahnya daerah itu pada 1960-an masih berupa rawa-rawa, hutan, dan tanah yang dipenuhi belukar.

Tapi berkat status proyek mandataris, pengosongan lahan dijalankan dengan cepat. Bahkan impor alat-alat berat seperti kapal keruk buat mengambil pasir laut untuk menguruk rawa-rawa pun berjalan mulus.

Namun begitu pengerasan tanah yang jadi tahapan pertama proyek beres, meletuslah peristiwa G30S pada 1965. Melemahnya posisi Soekarno juga bikin semua proyek mercusuarnya mandeg.

Jika sebelumnya pembangunan Ancol didanai pinjaman dari Bank Dagang Negara, maka mulai 1966 bank pelat merah itu tak mau lagi mengucurkan uang. “Gaji pegawai, tagihan listrik, dan air belum dibayar,” kata Soekardjo. “Minta uang ke Pemda DKI juga tidak mungkin.”

Tapi Ancol karena sejak awal di bawah pengawasan pemerintah Jakarta, Soekardjo bersama Direktur Bank Dagang Negara J.D. Massi memberanikan diri melapor ke Gubernur Ali Sadikin.

Ali mengusulkan mencari mitra swasta buat meneruskan pembangunan. Dalam pertemuan itu terbetik ide menggandeng PT Pembangunan Jaya yang dikomandani pengusaha Ir. Ciputra. Pembagunan Jaya sebelumnya menggarap proyek perumahan di Senen, Jakarta Pusat dan Slipi, Jakarta Barat.

Pembangunan Jaya jadi pilihan karena statusnya “setengah didirikan” pemda. Pendahulu Ali, Soemarno Sosroatmodjo, mendirikannya bersama pengusaha Hasjim Ning, Dasaad, R.A.B. Massi, J.D. Massi, Soecipto Amidarmo, dan Ciputra.

Perusahaan ini pun mengubah proyek yang awalnya hanya rekreasi rakyat di tepi pantai dengan menambah ruang buat perumahan dan kawasan industri. Sisi komersial pun menguat yang nantinya makin kentara dengan penerapan karcis masuk.

Tapi perusahaan ini rupanya tak mampu menarik minat investor atau bank buat mengucurkan kredit. Pendanaan pun dicari dengan mendekati perkumpulan istri pejabat era orde lama.

Lobi kepada istri mantan wakil perdana menteri, istri anggota DPR, dan istri Direktur Pertamina itu sukses. Ibu-ibu pejabat itu membentuk Yayasan Bina Ria buat bekerja sama dengan badan pembangunan Ancol.

Suntikan dana dari yayasan itu dipakai antara lain buat membangun jembatan akses masuk ke Ancol. Selain itu, rumah panggung di tepi danau buatan yang awalnya dipakai buat menyambut Soekarno setiap sang presiden berkunjung ke Ancol pun disulap jadi klub malam.

Night Club Bina Ria itu bangunan semi permanen seluas sekitar seribu meter persegi. Karena belum ada listrik, jalan menuju ke klub malam itu diterangi obor bambu. Rupanya, ini menambah daya tarik tersendiri selain semilir angin laut yang membuai pengunjungnya.

Tapi adanya klub malam ini bukan saja menarik warga Jakarta biasa. Soekardjo bercerita, kala itu banyak pula-pula nona-nona cantik yang memanfaatkan tempat hiburan malam itu.

Mereka rupanya pekerja seks yang biasa mangkal di Jalan Gunung Sahari dan Kramat Tunggak yang mencari peruntungan di tempat favorit baru itu. Pengelola Ancol tak bisa berbuat banyak karena mereka masuk dengan resmi karena membeli karcis.

Gara-gara maraknya prostitusi inilah, Yayasan Bina Ria menarik diri. Mereka yang menggagas klub malam itu, kata Soekardjo, risau dengan perkembangan Ancol yang seperti itu.

Soekardjo pun mengadukan masalah itu kepada gubernur. “Bukan kamu yang dosa, itu urusan mereka sendiri, yang dosa itu mereka, sudah biar saja,” kata Ali seperti ditirukan Soekardjo.

Tapi Bang Ali tidak benar-benar membiarkan kondisi itu. Ia memprakarsai pembangunan pasar seni, bioskop mobil, sirkuit, kolam renang, resor, dan lapangan golf. “Wahana rekreasi lainnya itu pelan-pelan mengikis citra miring Ancol yang disebabkan maraknya PSK dan tempat perjudian,” kata Soekardjo.

**
Selengkapnya bisa dibaca di buku:
Judul:
Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol
Pengarang:
Sugianto Sastrosoemarto dan Budiono
Penerbit:
Penerbit Buku Kompas, Juni 2010
Tebal:
xiv + 324 halaman
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url