Penghianatan 1965 Bab 4
BAB KEEMPAT
Antek-Antek Kontra Revolusi Pablois
Dalam bulan-bulan setelah kudeta militer yang diatur oleh CIA tanggal 1-2 Oktober 1965, semua anggota dan pendukung PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi untuk disiksa dan diinterogasi.
Pemusnahan sistematis dan penindasan yang kejam oposisi kelas buruh ini semakin bertambah setelah 11 Maret 1966 waktu Sukarno, pemimpin nasionalis burjuis yang dipertahankan oleh aparat militer sebagai presiden, memberi Jendral Suharto kekuasaan tak terbatas.
Pengkhianatan pergerakan besar revolusioner rakyat Indonesia oleh kepemimpinan Stalinis PKI adalah sebuah kekalahan yang mendalam dengan implikasi-implikasi besar untuk kelas pekerja seluruh dunia.
PKI berkali-kali menahan usaha-usaha para pekerja dan petani untuk menduduki pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan. Mereka mengikat pergerakan ini dengan rejim burjuis Sukarno dan pada akhirnya bergabung dengan aparat-aparat tingkat atas militer yang didukung AS, calon-calon tukang jagal massa, dalam kabinet Sukarno. Setelah kudeta itu, para Stalinis memerintah kader mereka untuk menjalankan imbauan Sukarno untuk menciptakan “persatuan” dengan para aparat militer dan untuk mencegah segala perlawanan terhadap pembantaian yang sedang dilaksanakan.
Pukulan terhadap revolusi Indonesia bergema di seluruh Asia dan dunia. Khususnya itu memudahkan dan memungkinkan peningkatan penyerangan Vietnam oleh AS, menghancurkan harapan dan semangat revolusi rakyat di Malaysia, Thailand, Filipina dan memperkuat rejim-rejim burjuis yang sedang goyah di anak benua India.
Mandel dan Hansen menutupi pengkhianatan Stalinis
Tetapi jawaban para revisionis Pablois dalam “Sekretariat Tergabung” (United Secretariat) yang dipimpin oleh Ernest Mandel dan Joseph Hansen, adalah untuk meremehkan akibat dari pengkhianatan di Indonesia itu, menutupi peran kontra-revolusioner para Stalinis dan, yang terpenting, menutupi tanggung-jawab mereka sendiri dalam pertumpahan darah ini.
Pada saat rakyat Indonesia sedang mengalami pembunuhan massa, Profesor Mandel berusaha untuk menggambarkan prospek-prospek yang cerah untuk revolusi Indonesia, untuk menumpulkan kesadaran kelas pekerja internasional.
“Tentu saja perjuangan di Indonesia masih belum berhenti,” tulisnya di dalam keenakkan kursi universitas Belgia-nya dalam artikel yang dicetak dalam jurnal Pablois “World Outlook” tanggal 11 Maret 1966.
“Sebagian dari kader komunis telah berhasil bersembunyi di bawah-tanah,” dia teruskan. “Kemarahan rakyat yang kelaparan tumbuh setiap hari; perut-perut para pekerja dan petani yang kosong tidak akan terisi oleh pembunuhan-pembunuhan itu. Pemberontakan itu akan menyebar-luas melawan rejim yang korup itu. Sukarno mengerti masalah ini dan akan memulai pengimbangannya lagi; dia baru saja membasmi jendral-jendral yang paling ganas dari kabinetnya. Para rakyat akan kembali mendapat giliran mereka untuk beraksi.”
Penutupan pengkhianatan besar rakyat Indonesia ini menunjukkan konsekuensi kontra-revolusioner oportunisme Pablois, yang muncul dalam jajaran gerakan Trotskyis mulai dari tahun-tahun 1940-an ke 1950-an.
Dipimpin oleh Michel Pablo, elemen-elemen seperti Mandel berusaha menyesuaikan diri dengan stabilisasi kapitalisme setelah Perang Dunia Kedua dan keadaan dimana birokrasi-birokrasi Stalinis yang menekan pergerakan revolusioner kaum pekerja internasional tidak lama setelah akhir Perang Dunia Kedua, kelihatannya makin kuat. Mereka meninggalkan perjuangan Trotsky untuk mendirikan Internasional Keempat sebagai partai dunia revolusi sosialis dan mangajukan bahwa para birokrasi Stalinis seperti di Moskow dan Bejing akan didorong oleh rakyat untuk melakukan peranan progresif. Dengan dasar ini, mereka berusaha melikuidasi Internasional Keempat ke dalam segala bentuk Stalinis atau Demokrat sosial yang sedang memegang kendali pergerakan pekerja dalam tiap negara, mengatakan bahwa jalan ke sosialisme terdiri dari pendirian dari negara-negara pekerja yang cacat sejak lahir, seperti yang didirikan di Eropa Timur dan Cina, yang berlangsung selama beberapa abad.
Pada tahun 1953 arah likuidasi ini dilawan dengan pembentukan Komite Internasional Internasional Keempat (International Committee of the Fourth International) sebagai jawaban kepada sebuah Surat Terbuka yang ditulis oleh pemimpin Partai Pekerja Sosialis (Socialist Workers Party) Amerika James P Cannon yang memanggil untuk pemertahanan “Trotskyisme ortodox”. Bagaimanapun juga, pada permulaan tahun 1960-an para pemimpin PPS sendiri mulai terpengaruh oleh berkepanjangannya pertumbuhan ekonomi setelah perang. Mereka menganjungkan elemen-elemen burjuis dan petit-burjuis nasional seperti Castro di Kuba yang kelihatannya dapat meraih sukses, sebagai pengganti pengambilan kekuasaan oleh kelas pekerja yang dipimpin oleh partai-partai Marxis revolusioner. Mereka mengajukan bahwa sosialisme dapat dicapai dengan “senjata tumpul”. Ini adalah arah yang menyatukan mereka kembali dengan para Pablois di tahun 1963 yang menjadi “Sekretariat Tergabung”.
Dasar dari penolakan para Pablois kepada revolusi kaum proletar adalah metoda obyektifis yang bersifat reaksioner ywng menggambarkan perjuangan sosialisme sebagai “proses sejarah” quasi-otomatis yang dicapai dengan pergerakan massa spontan yang dipimpin oleh pergerakan politik apa saja, tidak penting apa program dan komposisi kelasnya.
Dengan begitu “rakyat” Indonesia akan menang bagaimanapun buruknya krisis pimpinan yang telah diakibatkan oleh kebusukan partai Stalinis itu. Sukarno, yang diperalat oleh Jendral Suharto tanpa perlawanan, dianggap telah mengontrol jendral-jendral yang paling ganas. Dan setelah pengkhianatan yang tak tertanding itu, Mandel masih memanggil PKI partai “komunis”.
Penipuan oleh Mandel ini disahkan oleh “Sekretariat Tergabung” dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan tanggal 20 Maret 1966. Pernyataan itu menyimpulkan bahwa kenaikan Suharto sebagai “orang kuat” dari gerakan kontra-revolusi tidak berarti banyak, karena “Itu adalah kemungkinan yang sangat kecil bahwa para kontra-revolusionis yang berkuasa di Jakarta sekarang akan dapat menciptakan kestabilan yang dapat tahan lama.”
Duapuluh lima tahun setelah itu, dengan junta militer Suharto masih duduk tanpa kasihan di atas punggung jutaan rakyat Indonesia yang tertindas, itu sangatlah penting untuk mempelajari bagaimana para oportunis Pablois memberikan PKI dan Sukarno kerudung politik yang sangat mereka perlukan.
Pernyataan “Sekretariat Tergabung” itu menciptakan ilusi yang berbahaya yang mengatakan bahwa pembunuh-pembunuh dibawah Suharto pun, yang dilatih oleh AS, akan terdorong untuk melaksanakan kepentingan rakyat Indonesia dalam “konfrontasi” palsu Sukarno dengan Malaysia, negara yang pada saat itu baru dibentuk: “Para pemimpin militer sendiri tidak akan menanggalkan ke-anti-imperialisme-an dan ke-nasionalis-an mereka yang menunjukkan konflik kepentingan yang nyata dengan imperialisme Inggris dan kaum burjuis komprador dan tuan tanah semi-feodal yang berkuasa di Malaysia.
Ketika rakyat Indonesia tidak punya pemimpin dalam menghadapi penjagalan keji Suharto, para Pablois menyatakan dengan angkuh bahwa entah bagaimana rakyat akan menang.
“Rakyat, walaupun tanpa pemimpin dan tergoncang secara mendalam, belum kehilangan semua potensi perlawanan, khususnya di desa-desa. Mengusir para pemogok dari perkebunan-perkebunan milik imperialis atau yang sudah “dinasionalisasi” dan dijalankan oleh perwira-perwira militer yang korup, atau memaksa para pekerja perusahaan minyak bumi dan perkebunan untuk menerima kembali kondisi kerja jaman kolonial akan terbukti sulit terjadi.”
Yang terpenting, para Pablois terus bersikeras bahwa rakyat harus percaya kepada para pemimpin Stalinis PKI, mengajukan bahwa mereka dapat dipengaruhi untuk memainkan peranan revolusioner, meskipun mereka sudah menahan setiap pergerakan massa terhadap rejim Sukarno.
“Jika mereka berhasil bergabung kembali dan mendapat kembali dukungan massa di beberapa daerah pedesaan dengan mengimbau para petani untuk segera menyita tanah milik para tuan-tanah, perkebunan dan adminstrasi militer, mereka dapat mencapai keuntungan secara bertahap karena ketidak-mampuan dari reaksi Indonesia untuk memecahkan nasib ekonomi dasar negara dan karena perselisihan dalam jajaran angkatan bersenjata yang tanpa ragu akan dibangkitkan oleh ketidak-mampuan itu.”
Di tahun 1957, dan sekali lagi di tahun 1964-65, PKI telah mengarahkan para pekerja dan petani untuk menyerahkan pabrik-pabrik, bank-bank, instalasi-instalasi minyak, perkebunan-perkebunan dan perusahaan-perusahaan lain yang mereka duduki, yang membantu kedudukan Sukarno dan kaum burjuis Indonesia. Sekarang, para Pablois mengatakan bahwa mereka dapat memainkan peranan progresif.
Artikel Mandel dan pernyataan “Sekretariat Tergabung” dicetak bersama dengan artikel oleh seorang anggota PKI Pablois, oleh Partai Pekerja Sosialis AS dalam sebuah pamflet bernama “Bencana di Indonesia” tertanggal Desember 1966. Lengkap dengan sebuah kata awal oleh Joseph Hansen, seorang pemimpin PPS yang memainkan peranan busuk dalam pergabungan kembali dengan para Pablois. Hansen, yang setelah itu diungkapkan sebagai agen Stalinis yang menjadi alat FBI dalam PPS, merupakan penghasut utama dalam perpecahan PPS dari KIIK di tahun 1963. Hansen berusaha untuk menenangkan para pembaca pamflet ini bahwa “salah satu ciri politik dunia sekarang” adalah “kecepatan rakyat untuk dapat memulihkan diri dari kekalahan-kekalahan yang dulunya akan membuat mereka tunduk selama puluhan tahun.”
Ketidakperdulian para Pablois kepada nasib rakyat Indonesia bukan hanya hasil dari ketebalan kulit dan sikap merendahkan kelas pekerja mereka, yang merupakan ciri-ciri golongan petit-burjuis, tetapi juga merupakan usaha mereka untuk menutupi faktor kritis dalam pengkhianatan di Indonesia – peranan yang dimainkan oleh para Pablois dan wakil-wakil mereka di Indonesia sendiri.
Itu adalah ukuran dari sinisme para Pablois dan sikap tunduk mereka kepada para Stalinis dan kaum burjuis nasional bahwa tidak satupun dari artikel-artikel dan pernyataan-pernyataan yang dicetak dalam pamflet mereka di tahun 1966 menyebut keberadaan sebuah badan anggota dari “Sekretariat Tergabung” di Indonesia, apalagi menerangkan peranan badan itu dalam kejadian-kejadian sebelum kudeta.
Hanya ada satu pernyataan pendek untuk pelegalisasian dan pembebasan semua anggota PKI, Partai Murbah dan Partai Acoma, meskipun Partai Akoma mempunyai hubungan dengan para Pablois sedikitnya mulai tahun 1953 dan disahkan sebagai seksi “Sekretariat Tergabung” di tahun 1960, ketika PPS Amerika sedang meningkatkan manuver-manuver tak berprinsip mereka untuk bergabung kembali dengan para Pablois.
Penyebutan pendek tentang anggota-anggota mereka ini adalah pernyataan bersalah oleh para Pablois untuk menyembunyikan peranan yang mereka dan anak-anak didik mereka mainkan dalam memberi Stalinis-Stalinis PKI kepercayaan yang sangat mereka perlukan di tahun-tahun 1950an dan 1960an.
Bagaimana Munculnya Pabloisme di Indonesia
Partai Acoma berasal sebagai pecahan dari PKI di tahun 1948. Dengan memanggil diri mereka Trotsyis tanpa kebenaran, mereka menjadi pengalih dan penjebak oposisi kelas pekerja dan para petani terhadap dukungan yang diberikan PKI untuk rejim burjuis nasional Sukarno. Dipimpin oleh seorang anggota parlemen bernama Ibnu Parna, dokumen-dokumen program mereka menggambarkan PKI sebagai sebuah partai “Marxis-Leninis seperti kita.” Sebagai kita akan tunjukkan, ini adalah sebuah kebohongan dalam hal PKI dan Partai Acoma.
Kebutuhan atas sebuah katup pengaman “Trotskyis” palsu seperti itu, ditunjukkan oleh kejadian-kejadian di tahun 1948.
Keterlibatan PKI di dalam administrasi Sukarno setelah akhir Perang Dunia Kedua dan dukungan mereka untuk perjanjian-perjanjian busuk kaum burjuis Indonesia dan para kolonialis Belanda menimbulkan oposisi kuat di kalangan kelas pekerja.
Dari 5 Juli 1947 sampai 23 January 1948 administrasi Republik di bawah Sukarno dipimpin oleh Amir Syarifuddin yang berjabatan Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan. Syarifuddin adalah anggota rahasia PKI, juga Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri. Tambahan pula, dua menteri lain adalah anggota PKI secara terbuka. Administrasi ini menandatangani Perjanjian Renville dengan Belanda yang menetapkan kekuasaan Belanda atas sebagian besar dari industri gula, karet, kopi, teh dan minyak bumi; menentukan pengunduran semua kesatuan-kesatuan perang gerilya dari semua daerah yang dikuasai Belanda dan melikuidasikan kesatuan-kesatuan rakyat bersenjata yang dipimpin PKI ke dalam ABRI yang di bawah Sukarno dan jendral-jendralnya.
Begitu kuatnya oposisi terhadap penandatanganan pakta yang diadakan oleh AS ini sampai pemerintah turun dan diganti oleh pemerintahan sayap-kanan yang dipimpin oleh Wakil Presiden Hatta sebagai Perdana Menteri.
Aksi-aksi pemogokan meletus, menuntut pemerintahan parlemen. Kepemimpinan PKI mendukung penekanan pergerakan ini oleh Sukarno, yang mengimbau untuk pengadaan “kesatuan nasional”. Ketika pengkhianatan ini dilawan oleh sebuah bagian PKI, pemimpin-pemimpin PKI menjawab dengan kejam, mengeksekusi pemimpin-pemimpin dari faksi oposisi ini.
Partai Acoma muncul dari grup yang menentang ini. Walaupun mereka tidak menyetujui tindakan kepemimpinan PKI, Partai Acoma tetap berpendapat bahwa revolusi Indonesia harus dilakukan oleh PKI sebagai sebuah “partai Marxis-Leninis”. Selanjutnya pemimpin-pemimpin Partai Acoma menjalin hubungan dengan “Sekretariat Tergabung” yang mendorong posisi pro-Stalinis dan ilusi-ilusi tentang Maoisme mereka.
Itu jelas bahwa Partai Acoma mengarahkan para pekerja dan petani yang mencari jalan lain ke program kolaborasi antar-kelas PKI.
Dari tahun 1953 sampai 1955 misalnya, kekuatan pengaruh Acoma dalam SAKTI, Asosiasi Petani Indonesia yang beranggotakan 200,000 orang, membuat kepemimpinan PKI menunda sampai dua tahun rencana mereka untuk menggabungkan SAKTI dengan dua organisasi petani lainnya yang di bawah pengaruh PKI, RTI dan BTI.
Para Pablois mempersiapkan pengkhianatan
Sebuah artikel yang dicetak bulan Februari 1958 dalam jurnal Pablois “Quatrieme International” mengajukan sebuah tuduhan yang jelas atas peranan yang dimainkan oleh Pabloisme dalam melawan perjuangan untuk sebuah kepemimpinan Marxis Revolusioner dalam kelas pekerja.
Artikel itu,”Revolusi Indonesia Bergerak Maju”, oleh Sal Santen, seorang kolega dekat Pablo, ditulis pada puncak pergerakan-pergerakan revolusi di bulan Desember 1957, ketika para pekerja dan petani merampas perkebunan-perkebunan dan perusahaan-perusahaan milik Belanda dan negara imperialis lainnya.
Artikel itu merupakan kerudung kriminal untuk peranan-peranan kontra-revolusioner PKI, yang memerintahkan rakyat untuk mengembalikan rampasan-rampasan mereka kepada angkatan bersenjata untuk mendukung pemerintahan Sukarno.
Menurut Santen: ”Itu mesti ditambahkan bahwa para pejuang komunis, kader dasar dan biasa PKI dan SOBSI, organisasi besar pekerja Indonesia, tidak memiliki sifat birokratis Aidit dan kawan-kawan. Mereka ada di garis depan; mereka adalah yang mengambil alih inisiatip dalam menduduki pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank-bank dan kapal-kapal laut. Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa yang paling sadar-kelas antara mereka terbakar oleh api keberanian revolusioner Tan Malaka, oleh ide-ide revolusi permanen Leon Trotsky.”
Bertindak menurut arah ini, para Pablois Indonesia melucuti secara politis puluhan ribu pekerja dan petani yang bergerak maju untuk berjuang, hanya untuk menyadari bahwa jalan mereka dilintangi oleh PKI. Pada saat di mana tugas yang paling penting adalah mendidik para pekerja yang paling sadar-kelas dalam pentingnya sebuah perjuangan tanpa kompromi melawan teori “dua tahap” dan “blok empat kelas” Stalinis PKI, dan pentingnya sebuah penguatan mendalam teori Revolusi Pemanen, para Pablois bekerja sebaliknya.
Oportunis secara mendalam, mereka menyamakan Trotsky dengan Tan Malakka, pemimpin PKI yang menentang rencana untuk sebuah pemberontakan di tahun 1926 dan meninggalkan PKI untuk mendirikan organisasinya sendiri. Mereka memalsukan teori Revolusi Permanen Marxis, merubah itu dari sebuah strategi sadar untuk memandu perjuangan-perjuangan untuk diktatur kaum proletar menjadi sebuah perspektif yang terjadi secara spontan.
Ajaran utama teori Revolusi Permanen Trostky adalah kekhianatan kaum burjuis nasional dan ketidakmampuannya untuk memimpin perjuangan sejati melawan imperialisme. Hanya kelas pekerja lah yang dapat membebaskan rakyat dari penekanan atas kelasnya dan penekanan nasional, dengan mengadakan revolusi sosialis dan menyatukan diri mereka dengan saudara-saudara sekelas di seluruh dunia dalam sebuah perjuangan untuk menggulingkan imperialisme secara internasional.
Perjuangan itu hanya dapat dilakukan secara sadar di bawah panji-panji Internasional Keempat dalam sebuah perjuangan tanpa kompromi melawan para Stalinis dan kekuatan-kekuatan petit-burjuis, seperti para Pablois, yang mencoba melucuti kelas pekerja secara politis dan mengikat kepada kaum burjuis mereka.
Di tangan para Pablois, program Revolusi Permanen menjadi alasan untuk penyesuaian diri mereka kepada kaum burjuis nasional dan para Stalinis. Kelas pekerja tidak memerlukan partai revolusioner mereka sendiri untuk mengambil-alih kekuasaan karena PKI sedang merupakan instrumen melalui apa Revolusi Permanen itu sedang dinyatakan, walaupun secara tidak sadar.
Dengan demikian, Santen, berbicara untuk Pablo dan Mandel, menyatakan: “Bagaimanapun juga itu adalah jelas bahwa Indonesia secara menyeluruh sedang bergerak. Pergerakan rakyat sudah tidak bisa dimundurkan — walaupun proses itu tetap bertentangan — dan sudah mencapai tahap kekuasaan rangkap di sebagian besar Indonesia, terutama di Jawa. Pendudukan perusahaan-perusahaan, perkebunan-perkebunan, armada dan bank-bank oleh rakyat hanya berarti satu: Itu adalah tentang permulaan klasik revolusi proletar. Revolusi Indonesia sedang dalam proses membobol batas-batas revolusi nasional di bawah pimpinan kaum burjuis nasional. Itu berkembang menurut hukum-hukum revolusi permanen.” (Tekanan di dalam dokumen asli).
Para Pablois mengulurkan prospek sebuah perubahan secara damai ke “kekuasaan pekerja dan petani”:
“Sebuah kemenangan yang damai dan cepat revolusi itu ke kekuasaan pekerja dan petani (terutama di Jawa) dapat dicapai, bila PKI, pada saat pertama terdorong semangat rakyat, tidak berusaha mengebiri aksi rakyat dengan meletakkannya di bawah kontrol pemerintah.”
Apa yang dimaksudkan oleh para Pablois dengan “kekuasaan pekerja dan petani” adalah bertentangan dengan perjuangan untuk diktatur kaum proletar. Para Pablois berjajar sebagai penyorak untuk perspektif kontra-revolusioner Stalinis “dua-tahap” yang menuntut kaum proletar untuk menghentikan perjuangan untuk revolusi sosialis.
Untuk menghalalkan pertentangan mereka terhadap penggerakan mandiri kelas pekerja dan penempaan sebuah kepemimpinan revolusioner proletar, yaitu, partai Trotskyis, para Pablois bersikeras bahwa PKI, meskipun sudah mengkhianati aksi-aksi pendudukan di bulan Desember 1957, akan terdorong ke kiri oleh rakyat:
“Pada saat yang sama, pada setiap perkembangan situasi, rakyat mempunyai kecenderungan untuk mendorong SOBSI dan PKI lebih jauh. Banyaklah yang sekarang tergantung pada keberanian, pada pengertian Marxis revolusioner, kader-kader Komunis. Kita merasa solider sepenuhnya dengan mereka, terilhami dan terantusiasi oleh inisiatip mereka, keberanian mereka yang — kita harap dengan penuh semangat — tidak akan berhenti karena tabu-tabu para Aidit. Kita memberi hormat untuk kader-kader Trotskyis Indonesia yang menggabung ke dalam PKI dengan perspektif revolusioner yang benar bahwa radikalisasi rakyat akan terjadi terutama melalui PKI dan SOBSI.”
Ini adalah kejahatan terbesar Pabloisme — pelikuidasian kader Trotskyis, dan semua yang tertarik ke Trotskysime, ke dalam kamp Stalinisme.
Santen menambahkan sebuah catatan untuk menekankan bahwa sikap khianat ini dinyatakan dalam pertentangan secara langsung terhadap perjuangan yang dilakukan oleh Komite Sedunia Internasional Keempat sejak pembentukannya di tahun 1953 untuk mempertahankan Trotskysime terhadap likuidasionisme Pablois. Santen secara khusus mencela perjuangan KSIK untuk pendirian badan-badan bagian Internasional Keempat untuk mengalahkan Stalinisme kontra-revolusioner:
“Bertentangan dengan beberapa orang `ortodoks` yang picik, Internasional ini tidak membiarkan dirinya untuk terpesona oleh politik reaksioner Stalinisme, tetapi mengarahkan dirinya, terutama ke dinamisme situasi itu sendiri, sebuah dinamisme yang mendorong rakyat dan melalui rakyat, PKI sendiri ke dalam pertentangan dengan keadaan di Indonesia saat ini.”
Kata-kata ini perlu dicapkan di pikiran setiap pekerja sebagai ringkasan dari pekerjaan licik pro-Stalinis Pabloisme. Dalam pertentangan langsung dengan KSIK, para Pablois secara sadar mendorong ilusi-ilusi fatal dalam Stalinis-Stalinis PKI, tepat pada saat di mana masalah yang sangat penting saat itu adalah untuk membeberkan peranan kriminal para Stalinis dan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan rakyat secara mantap dari PKI untuk mendirikan sebuah kepemimpinan Trotskyis revolusioner.
Perjuangan yang berkepanjangan dan yang berkeras Komite Internasional Internasional Keempat (International Committee of the Fourth International) melawan para oportunis Pablois, yang bertahun-tahun tampak sebagai perjuangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil terpencil dalam Internasional Keempat, menjadi masalah hidup mati untuk jutaan buruh dan petani Indonesia.
Pembantu-pembantu kontra-revolusioner
Dalam waktu beberapa minggu dari penulisan kata-kata Santen, buah-buah busuk dari pengkhianatan PKI atas pergerakan di bulan Desember 1957 mulai muncul. Sebuah pemerintah kontra-revolusioner dibentuk di Sumatra Tengah di bulan Februari 1958 oleh pemimpin kudeta Kolonel Achmed Hussein dan dipimpin oleh Dr Syafruddin Prawiranegara. Operasi yang didukung CIA ini, yang dimungkinkan oleh pengebirian pergerakan Desember 1957 oleh PKI, merupakan percobaan untuk kudeta yang akan terjadi tujuh tahun setelah itu.
Mengerti bahwa ini adalah percobaan untuk kontra-revolusi, tanggapan para Pablois adalah untuk menambah pembesaran mereka atas PKI. Editor Quatrieme International menambahkan sebuah catatan yang berklimaks dengan kata-kata ungu berikut:
Karena tujuan utama para `pemberontak` adalah untuk menghancurkan ‘demokrasi’ terpimpin Sukarno, dalam mana PKI termasuk, maka kompromi akan merugikan PKI. Dalam kasus ini, arahan jangka-pendek adalah PKI di bawah tekanan rakyat, akan terpaksa melakukan pemutaran-balik politik besar, seperti yang dilakukan oleh Partai Komunis Cina dalam situasi yang mirip di tahun 1949, dan untuk melewati tahap nasionalis-burjuis dan langsung ke tahap sosialis kekuasaan pekerja. Ini, sesungguhnya, tetapi sekali lagi tanpa pemberitahuan, bergerak menurut dan membuktikan teori revolusi permanen Trotskyis.”
Di situ, PKI, tukang gantung revolusi Indonesia digambarkan sebagai instrumen tak sadar Revolusi Permanen!
Ditambahkan di situ, adalah kebohongan bahwa para Stalinis Cina, guru Aidit dan pemimpin PKI yang lain, telah melakukan “tahap sosialis dari kekuasaan pekerja” di tahun 1949. Kenyataanya tentara-tentara petani para Maois menekan secara brutal pergerakan proletar di tahun 1949, membunuh semua oposisi Trotskyis, dan mendirikan sebuah negara pekerja yang cacat sejak lahir yang berdasarkan atas perspektif Stalinis pengadaan kerjasama dengan kaum burjuis nasional, kaum petit-burjuis urban dan para petani. Ini adalah model yang merupakan dasar bagi kepemimpinan PKI sendiri.
Tidak puas dengan menganjungkan para Stalinis, catatan spesial editor itu kemudian menunjukkan kemungkinan kelas burjuis-nasional merubah diri secara progresif juga. Itu mengusulkan senario lain yang berdasarkan atas pemerintah Sukarno memimpin perjuangan melawan “pemberontak-pemberontak” yang diatur oleh CIA.
Dalam kemungkinan lainnya dimana pemerintah Sukarno memberikan perlawanan dan pertahanan yang lebih kuat terhadap `para pemberontak`, pemisahan yang lebih jauh antara kekuatan-kekuatan burjuis dan kontra-revolusioner semi-feodal akan tampak; menghadapi sebuah pemerintah bayangan nasionalis-burjuis dan rakyat. Konfrontasi antara rakyat dan pemberontakan `pemilik budak` baru ini, `Kornilov putsch` baru ini, akan menimbulkan gejolak baru revolusi, dan pengalaman dari aksi revolusi semacam ini akan meninggalkan kemungkinan kecil untuk sebuah rejim nasionalis-burjuis untuk kembali ke stabilitas.”
Peristiwa-peristiwa Oktober 1965 akan membuktikan bahwa rejim Sukarno tidaklah kurang ramah terhadap tukang-tukang jagal Suharto dibandingkan dengan pemerintahan Kerensky terhadap kudeta Jendral Kornilov di tahun 1917. Sukarno menunjukkan intisari nasionalisme burjuis dengan mengakhiri karir politisnya sebagai presiden bonekanya junta militer Suharto.
Kesimpulan dari catatan editor itu seharusnya ditulis di batu nisan Pabloisme:”Dalam kasus yang mana saja, arahan optimistis kita adalah benar. Revolusi Indonesia sedang maju! Kemenangannya sebagai sebuah revolusi sosialis sedang terjadi.(Tekanan dalam dokumen asli)
Dari tahun 1957 sampai 1965 para Pablois di seluruh dunia melakukan penutupan obyektivis ini atas bahaya-bahaya yang menghadapi revolusi Indonesia.
Pekerjaan dari organisasi bagian Pablois di Indonesia adalah sangat penting untuk seluruh perspektif sedunia Pablois. Itu dibicarakan secara intensif di yang dinamakan Kongres Dunia Kelima dari “Sekretariat Tergabung” di tahun 1957.
“Kongres Dunia Kelima kita, dalam membicarakan kemajuan dan jalur revolusi kolonial sedunia, memberikan perhatian serius terhadap perkembangan-perkembangan di Indonesia. Mengenali situasi Indonesia sebagai pra-revolusi, itu mengharapkan sebuah ledakan revolusioner sebentar lagi.” Kata artikel Santen.
Seluruh “Sekretariat Tergabung” Pablois mempunyai tangan berdarah. Mereka membantu pengkhianatan Stalinis terhadap pekerja-pekerja dan petani-petani Indonesia.
bersambung ...